Minggu, 10 Mei 2009

kritik sastra

Sekalipun "struktur dalam" novelnya menunjukkan sifatnya yang kompleks namun masih mungkin dilihat keterikatannya dengan subjeknya, yakni kelompok intelektual yang di dalamnya termasuk pengarangnya. Kondisi sosial menjelang dan sesudah Orde Baru memang belum memberi kemungkinan bagi kelompok ini menempatkan diri pada posisi yang menentukan arah perkem- bangan politik dan ekonomi. Meskipun demikian, kelompok ini masih mencoba tampil ke depan sebagai subjek yang penuh percaya diri dalam menanggapi perubahan sosio-budaya berdasarkan visi dunianya. Usaha-usaha yang dilakukan antara lain, berupa perlawanan terhadap sistem (dalam novel Keok) terimplisit dalam sistem lalu lintas yang kacau, penyesuaian diri malahan pengasingan diri yang terimplisit melalui adegan tokoh wanita menutup mulut dan tidak mau melakukan komunikasi.

Sesungguhnya masih banyak tanggapan positif dari kritikus sastra terhadap karya-karya Putu Wijaya yang tidak mungkin penulis uraikan satu per satu. Tanggapan dan analisis serta esei tersebut menunjukkan perhatian yang cukup besar terhadap karya-karya Putu Wijaya. Demikian pula hal itu membuktikan bahwa posisi Putu Wijaya cukup penting dalam percaturan kesusastraan Indonesia. Namun demikian, tidak semua karya Putu Wijaya memperoleh porsi yang sama. Dari sekian banyak komentar, Telegram, Stasiun, Pabrik, dan Keok memperoleh porsi yang besar. Karena itu, analisis terhadap karya Putu Wijaya yang lain patut di-lakukan. Dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada novel Nyali (1983) yang merupakan novel Putu Wijaya yang kurang banyak mendapat tanggapan dibadingkan Telegram dan Stasiun, padahal novel Nyali tidak kalah menarik dibanding novel-novel Putu Wijaya yang lain.

Hal yang menarik dalam novel Nyali adalah permasa- lahan yang diungkapkannya. Novel ini mengungkap konflik sosial dan politik yang penuh dengan kekejaman. Konflik sosial dan politik tersebut memiliki kesejajaran dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia. Keith Foulcher (dalam Robert Cribb, ed, 1990 : 104) memberikan komentarnya terhadap novel ini sebagai novel luar biasa yang mempunyai kemiripan dengan peristiwa sejarah sekitar tahun 1965, meskipun samar-samar dan dalam bentuk yang berlainan dari tradisi kesusastraan Indonesia.

Sesungguhnya banyak novel yang menyinggung atau memiliki latar peristiwa sejarah sekitar tahun 1965. Ashadi Siregar pada tahun 1979 menerbitkan novelnya yang berjudul Jentera Lepas (1979) yang menceritakan nasib sebuah keluarga yang berkaitan dengan PKI sesudah peristiwa tahun 1965.

Yudistira ANM dengan novelnya Mencoba Tidak Menyerah (1979) yang melukiskan kesengsaraan sebuah keluarga setelah sang bapak yang disangka oleh masyarakat beraliran komuni